Wednesday, November 19, 2008

A Cat's in My Eyes

Baca buku ini seperti di ingatkan kembali saat-saat kita masih kecil. Waktu kecil, kita sering bertanya, "Ma, aku keluarnya dari mana?" atau "Pa, Tuhan itu agamanya apa?" Tapi, semakin tua kita semakin jarang bertanya, semakin dewasa kita jadi jarang mempertanyakan hal-hal yang sudah kita pelajari dan ketahui, kita menelan bulat-bulat semua pelajaran yang kita terima tanpa mempertanyakannya lagi. Hidup ini tidak lagi menarik tanpa pertanyaan. Monoton. Terjebak dalam rutinitas. Padahal, hidup yang nggak direfleksikan nggak pernah layak buat diteruskan, kata Socrates. Seorang yang selalu bertanya memang ditakdirkan jadi petualang. Petualangan mereka adalah petualangan yang panjang, petualangan untuk menemukan jawaban-jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang selalu dan terus menerus muncul menagih penyelesaian.

Buku ini berisi petualangan itu. Seperti sebuah petualangan liar, sekumpulan sketsa, prosa, dan cerita dalam buku ini tidak menawarkan peta. Petualangan ini hanya dibekali tanda-tanda sederhana yang mungkin sering kita jumpai, seperti hal-hal biasa yang lazim kita temukan di keseharian tetapi sesungguhnya penting untuk kita tinjau ulang. Sebab, siapa tahu semua itu adalah tanda, yang akan menyusun sebuah peta menuju jawaban yang mencerahkan kita.
Nah, dibuku ini kita akan diajak kembali menyelami lautan pertanyaan yang mengasyikan. Mengembalikan lagi masa kecil kita sebagai "filsuf keseharian". Ibarat mata kucing yang selalu bertanya, begitulah perumpaan yang dipakai jadi judul buku ini.

Dari buku “A Cat In My Eyes”, saya paling suka prosanya yang berjudul “Skizofrenia”. Entah mengapa, saya merasa prosa itulah yang paling mewakili penelusuran seorang Fahd. Namun sepanjang perjalanan 176 halaman buku tersebut masih banyak lagi cerita dan metaforanya yang akan memukau para pembacanya. Fahd Djibran, sang penulis tidak banyak memaksakan atau memastikan tentang area ketidakpastian, ia sangat bijak untuk menghormati area tersebut dengan kerap kali membubuhkan "barangkali" atau "tidak tahu" saat berada diujung kesimpulan. Ada yang bilang semakin dewasa seseorang, ia akan lebih banyak menyatakan tidak tahu ketimbang meyatakan kepastian. Kedewasaannya tertangkap dari kalimat yang ia utarakan dan saya suka sekali : “Aku ingin tetap berada di udara jika hidup adalah sebuah koin yang dilempar ke udara dan menjadikan kita sebagai salah satu sisi dari dua mata koin itu. Aku ingin berada di dunia antara, abu-abu, dunia fusi sinergis yang harmonis.”